Kehadiran pesantren hampir bersamaan dengan datangnya Islam di negeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri sama dengan peran Islam.
Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui pendidikan pesantren dalam bentuk pandangan hidup. Dengan pandangan hidup Islam, masyarakat lalu mengembangkan semangat pembebasan dan perlawanan terhadap “penjajah”. Keberadaan pesantren sejak awal telah menunjukkan anti-penjajah.
Anehnya, setelah negara ini merdeka, pesantren yang telah ikut berperan besar dalam perubahan negara ini harus menerima kenyataan pahit. Marginalisasi negara terhadap lembaga pendidikan pesantren pada umumnya seperti yang dialami oleh pesantren-pesantren DDI telah berlangsung lama, dari Orde Lama ke Orde Baru hingga Era Reformasi. Tak satupun dari rezim tersebut yang mengakomodasi pesantren dalam kebijakan pendidikannya.
Pada tahun 1950 (di jaman Orde Lama) misalnya, pemerintah memproduksi kebijakan pendidikan melalui UU No 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di dalam undang-undang tersebut sama sekali lembaga pendidikan pesantren tidak mendapat tempat. Pada masa orde baru hasil pemilu 1973 MPRS mengeluarkan ketetapan GBHN Nomor IV/MPRS/1973 yang didalamnya termuat rumusan tentang tujuan pendidikan Nasional. Selanjutnya pada tahun 1989, kembali diterbitkan kebijakan pendidikan melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, seluruh kebijakan pendidikan Orde Lama setidaknya hanya berorintasi pada dua hal pokok, pertama : mengeliminasi ideologi komunisme, kedua : menyiapkan alumni-alumni sekolah untuk menyokong industrialisasi pembangunan. Lalu dimana posisi lembaga pendidikan pesantren dalam kebijakan tersebut?
Kita pun sampai pada Era Reformasi, dimana pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan untuk mengganti UU Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 dengan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Titik penekanan dalam UU Sisdiknas yang baru ini antara lain adalah desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, tantangan globalisasi kaitannya dengan system pendidikan nasional, jalur pendidikan, dan peserta didik. Sekali lagi, dalam kebijakan tersebut belum dirasakan oleh lembaga pendidikan pesantren.
Pemaparan tersebut di atas ingin menunjukkan fakta bahwa di negeri ini, sejarah lembaga pendidikan pesantren –termasuk pesantren-pesantren DDI– dapat disebut hanya sebagai bayang-bayang pendidikan, vis a vis dengan pendidikan formal yang mengitarinya. Berbagai macam kebijakan pendidikan tak pernah terfokus pada pesantren. Faktor ini pula yang dapat menjelaskan mengapa pesantren jauh dari perhatian negara. Keberadaannya termarginalisasi dalam berbagai hal, seperti asrama berbentuk rumah panggung, berukuran kecil, beratap rumbia, berdinding bambu, dan berlantai papan atau bangunan sekolah yang berdinding kayu merupakan potret utuh marginalisasi pesantren. Sebuah pengakuan yang tak berlebih dan pantas dinyatakan disini bahwa pesantren DDI (mungkin juga pesantren-pesantren lain) begitu konsisten menyelenggarakan pendidikan sepanjang waktu kepada warga walaupun tanpa peran dan perhatian nyata negara.
Hingga kini, DDI telah memiliki sekolah/madrasah mulai dari tingkat Raudhatul Athfal (TK) sampai madrasah/sekolah setingkat SLTA berjumlah 1075 unit. Perguruan Tinggi 15 unit, pondok pesantren 83 unit yang dibina oleh 6 Pengurus Wilayah DDI, 58 Pengurus Daerah DDI, 388 Pengrus Cabang, dan 172 Pengurus Ranting yang tersebar di 20 propinsi dalam wilayah Republik ini. Jumlah lembaga pendidikan formal DDI yang tersebar itu merupakan bakti mulia yang nyata tentang peran DDI dalam mencerdaskan bangsa ini, dedikasi tertinggi untuk bangsa ini. Sosok AGH. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai peletak dasar, hingga kini tak tersapu oleh perubahan zaman, sejak 1947 hingga sekarang ini DDI tetap hadir mendidik—berdakwah—menyelenggarakan usaha sosial.
Dengan demikian, nyata terlihat bahwa DDI telah teruji oleh roda zaman yang terus berputar. Rentan waktu dari tahun 1947 hingga sekarang bukanlah perjalanan singkat yang bisa ditempuh dengan energi biasa, butuh bekal yang cukup dan perlu nafas yang panjang untuk tetap bertahan hingga sekarang. Dengan segala situasi yang menyertainya, sampai hari ini DDI terbukti memiliki bekal yang cukup dan nafas yang panjang itu.
AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan para ulama pendahulu DDI telah menemui berbagai tantangan yang begitu berat dalam menghadirkan DDI ditengah masyarakat. Pasca anregurutta, tantangan beratpun masih saja menyertai dinamika dalam tubuh DDI. Rasanya tak berlebihan ketika dikatakan bahwa DDI begitu kuatnya mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan dan tan tantangan yang ada, DDI tak lekang oleh zaman yang terus berubah. Salah satu yang membuat DDI tak lekang oleh zaman adalah gerak pendidikan yang diselenggarakannya, yang nyatanya jauh dari perhatian negara
DDI mendidik warga dalam rangka mencerdaskan bangsa tanpa kehadiran negara di dalamnya. DDI dan pesantrennya, dibiarkan dalam kesendirian oleh negara untuk mendidik warga bangsa, sekalipun dipahami bahwa tugas mendidik adalah merupakan kewajiban negara. Keberadaan DDI -sebagai lembaga pendidikan- meski tanpa peran signifikan negara, sampai detik ini menunjukkan bahwa DDI menjadi semacam organisme yang terus hidup ditengah perubahan-perubahan sosial politik yang ada.
Meski jauh dari perhatian negara, namun DDI tetap eksis di tengah-tengah masyarakat adalah merupakan daya tahan yang cukup luar biasa. Eksistensi DDI ini bila ditelisik lebih jauh, kuncinya sesungguhnya adalah terletak pada triloginya, pendidikan-dakwah-usaha sosial. Melalui pesantren dan sejumlah lembaga pendidikan Islam yang dimilikinya, DDI mampu membuktikan dan menunjukkan eksistensinya melalui pendidikan keagamaan pada warga masyarakat melalui dakwah.
Bentuk gerakan DDI yang dimulai dari desa-desa menuju kota melalui triloginya : “pendidikan—dakwah—usaha sosial” adalah adalah bentuk gerakan yang begitu mengakar dalam masyarakat. Dengan model gerakan tersebut, DDI memiliki akar dan basis yang kuat di masayarakat. Menariknya, karena masyarakat yang berbasis di desa-desa merespon kehadiran DDI diruang sosial mereka secara positif dan ha ini sudah terbukti oleh sejarah. Pesantren DDI pada umumnya, memiliki sejumlah fasilitas sarana dan prasarana yang justeru berasal dari sumbangan secara sukarela masyarakat di berbagai daerah, bukan semata-mata dari kalangan pemerintah.
Oleh karena itu, meski peran negara tidak begitu berdampak signifikan terhadap gerakan pendidikan yang dibangun oleh DDI melalui triloginya, DDI tetap eksis sebab kehadirannya selalu menjadi hal yang dirindukan dalam masyarakat. Meski jauh dari negara, tapi tetap dekat dengan ummat, merupakan salah satu kunci eksisnya DDI di tengah-tengah masyarakat, yang sudah barang tentu tak semua institusi pendidikan, utmanya swasta, memilikinya. Demikianlah wujud nyata persembahan DDI untuk bangsa ini.(*)
Oleh :
Suherman
Sekretaris Majelis Pertimbangan Organisasi Ikatan Mahasiswa DDI
Editor: Aldy
Sumber: Tribun Timur
0 komentar:
Post a Comment