Headlines News :
Home » , , , » SEJARAH SINGKAT LAHIRNYA DARUD DA’WAH WAL IRSYAD (DDI)

SEJARAH SINGKAT LAHIRNYA DARUD DA’WAH WAL IRSYAD (DDI)

Written By STAI DDI Kota Makassar on Wednesday, 17 December 2014 | 21:53


MADRASAH  ARABIYAH  ISLAMIYAH  (MAI)

A. Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang.

STAI DDI MKS - Salah satu Madrasah (Lembaga Pendidikan) tertua dan dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo yang didirikan pada bulan Zulkaeddah 1348 H atau bertepatan bulan Mei 1930 M oleh Anregurutta K.H.M. As’ad yang baru saja kembali dari Mekah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan  masa belajarnya pada Madrasah Al Falah Mekah.

Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo mula berdirinya hanya merupakan pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman beliau. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Mesjid Jami Sengkang. Dan dalam perkembangan lebih lanjut didirikan pula dalam bentuk pendidikan formal yakni sistem Madrasah yang pengaturannya dipercayakan kepada K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle.

Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang tidak berkembang secara meluas sebab oleh pendirinya tidak dibenarkan membuka cabang di daerah-daerah. Hal disebabkan oleh kehawatiran beliau terahadap ketidak mampuan mengkordinirnya sehingga dapat memberikan citra yang kurang baik terhadap MAI Sengkang termasuk dalam hal ini menjaga mutunya. Namuan demikian berkat pembinaan yang dilakukan oleh K.H. M.As’ad baik, maka dari MAI Sengkang inilah lahir ulama-ulama penting di Sulawesi Selatan, misalnya K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, K.H.M. Daud Ismail, K.H. Muh. Abduh Pabbajah, K.H.M.Yunus Maratan dan lain-lainnya.

Setelah berselang beberapa saat lamanya setelah K.H.M. As’ad meninggal yaitu pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H yang bertepatan dengan 29 Desember 1952 dalam usia 45 tahun. Maka untuk mengenang jasa-jasa beliau, MAI Sengkang diintegrasikan menjadi Perguruan As’adiyah. Ini terjadi pada tanggal 25 Sya’ban 1372 H yang bertepatan dengan 9 Mei 1953 berdasarkan hasil  mufakat dari musyawarah yang dilakukan oleh kalangan warga MAI Sengkang pada waktu itu.

Pada masa setelah perubahan nama inilah As’adiyah mengalami perkembangan lebih meluas karena pembukaan cabang-cabang di daerah sudah ditensifkan yang semula tidak dibenarkan. Kini As’adiyah sudah memiliki madrasah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai pada tingkat Perguruan Tinggi.



B. Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso

Diantara yang berualang kali mengajukan permohonan kepada K.H.M.As’ad selaku pimpinan MAI Sengkang agar dapat didirikan pesantren Madrasah MAI di daerahnya adalah H.Andi Muh.Yusuf Andi Dagong Kepala Pemerintahan Swapraja Soppeng Riaja bersama kadhinya yang bernama H.Kittab dengan mengajukan usul calon pimpinan perguruan yang akan didirikan adalah K.H.Abd. Rahman Ambo Dalle. Terdapat pula daerah lain yang sering mengajukan usul yang serupa yaitu Pare-pare dan Palopo.

Permohonan ini pada mulanya selalu ditolak oleh K.H.M.As’ad karena menurut beliau kepindahan K. H. Abdul Rahman Ambo Dalle, sebagai pembantu terdekatnya dalam membina pesantren madrasah dapat menghambat kemajuan MAI Sengkang yang merupakan sentral pendidikan dan pengajaran Islam di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Oleh karena permohonan terus-menerus oleh mereka, maka dengan hati berat pada akhirnya K.H.M As’ad menyerahkan masalahnya kepada K.H.Abd Rahman Ambo Dalle, apakah permintaan Arung Soppeng Riaja dan masyarakatnya itu dipenuhi atau ditolak. Dengan pertimbangan demi untuk kepentingan pendidikan ummat Islam permohonan tersebut diterima oleh K.H.Abd Rahman Ambo Dalle.

Setelah K.H.Abd Rahman Ambo Dalle berada di Mangkoso ibukota Swapraja Soppeng Riaja sebagai tempat tugasnya yang baru, maka setelah diadakan seleksi/testing terhadap calon santri pada tanggal 11 Januari 1938 bertepatan dengan hari Rabu 20 Zulkaedah 1357 H. Berdasarkan hasil evaluasi testing itu, dibuatlah tiga tingkatan sekaligus yaitu tingkatan Tahdiriyah, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.

Hal ini dimungkinkan karena  beberapa santri senior beralih juga ke Mangkoso disamping adanya santri-santri yang dahulunya terpusat ke MAI Sengkang sekarang sebahagian beralih ke Mangkoso. Disini terlihat bahwa apa yang menjadi kehawatiran K.H.M. As’ad atas kepindahan K.H.Abd Rahman Ambo Dalle akan membawa pengaruh atas perkembangan MAI Sengkang bener-benar terbukti.

Adapun nama pesantren Madrasah yang didirikan ini diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) identik dengan nama pesantren madrasah yang diasuh oleh K.H.M.As’ad di Sengkang Wajo, sekalipun bila dilihat dari sudut organisatoris dan administratif antara keduanya tidak ada hubungan struktural yang formil. Ini disebabkan oleh bleid kepemimpinan K.H.M.As’ad yang tetap tidak mau membenarkan adanya cabang MAI Sengkang di daerah-daerah.  

Pembina utama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso pada awal berdirinya adalah H.Andi Tobo petta Gowa dan H.M.Yusuf Andi Dagong yang telah menyediakan dana logistik untuk pembiayaan MAI dalam rangka menjamin perkembangannya. Sedangkan pimpinan pesantren/madrasah sekaligus juga sebagai penanggung jawab penuh berada di tengah K.H.Abd Rahman Ambo Dalle dengan didampingi oleh guru-guru vak mata pelajaran tertentu antara lain K.H.Amin Nashir, K.H.Harun Al Rasyid, K.H. Abd Kadir Khalid MA, K.H. Abd. Hanan, K.H. Abd Rahman Matemmang, K.H.M.Aqib Siangka, Ustaz H.Haddad, K.H.M. Amberi Said dan lain-lainnya.

Pelajaran yang diutamakan pada madrasah MAI saat itu adalah Al-Qur’an, Tafsir, Hadits, Tauhid, Fikhi, Usul Fikhi dan Tarekh (Sejarah Islam). Sedangkan pelajaran ahlak disamping teori juga langsung dalam peraktek yang dituangkan dalam peraturan-peraturan kampus. Termasuk pula diajarkan adalah ilmu tarbiyah dan Dakwah.Adapun pelaksanaan pengajian pesantren dilakukan pada waktu sesudah shalat Magrib, Isya dan Subuh dengan materi Tafsir, Hadist, Fikhi, Tauhid, Akhlak, Bahasa Arab dengan alat-alatnya. Disamping itu diadakan pula muthalaah terpimpin.

Dalam usaha pembinaan da’i-da’I, ditempuh dengan latihan tabligh yang dilaksanakan pada setiap hari Kamis, sedangkan usaha pembinaan Jami’atul Huffadz ditangani oleh tenga-tenaga khusus yaitu K.H.M.Aqib Siangka, K.H.Harun Al Rasyid, dan K.H. Zainuddin. Dalam usaha efektifnya bidang ini setiap santri diharuskan menghafal satu juz Al-Qur’an setiap tahunnya.

Diantara huffadz yang dihasilkan adalah H.Zainuddin Haer Pangkep, Ahmad Jagong Pangkep, H.M.Asaf Bone, Abd Rauf Bontobonto, M.Haedar pangkep, Abd.Majid dan lambu Camba. Terdapat diantara mereka itu yang dapat menyelesaikan hafalannya dalam waktu yang cukup singkat misalnya S. Abdullah Al Ahdhaly dalam masa 30 hari dan H. Zainuddin dalam waktu 40 hari dapat menyelesaikannya 30 Juz Al-Qur’an untuk dihafal.
Pada tahun-tahun pertama berdirinya MAI Mangkoso santri-santrinya kebanyakan berasal dari sekitar daerah Mangkoso dan Barru. Tapi setelah berjalan sekitar 2 tahun, maka santri mulai berdatangan dari daerah-daerah  bagian Sulawesi lainnya bahkan mulai ada dari Kalimantan dan Sumatera.

Untuk memberi kesempatan kepada para santri untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, maka setiap bulan Sya’ban diadakan penamatan dengan mengudang orang tua mereka untuk menyaksikannya sebagai akhir tahun ajara. Dan kelak bulan syawal sesudah ramadhan tahun ajaran dimulai kembali sebagai sedia kala.

Dalam perkembangan MAI selanjutnya dengan melihat melimpahnya santri dan telah banyaknya tamatan Tsanawiyah MAI, maka pada tahun 1947 dibukalah Aliyah Lil Banin MAI khusus untuk laki-laki dan dalam pengembangan selanjutnnya pada tahun 1944 didirikan pula Aliyah Lil Banat MAI khusus untuk putri.

Dalam pengembangan MAI Mangkoso terdapat peluang yang cukup baik sebab kebijaksanaan K.H.Abd.Rahman Ambo Dalle adalah membenarkan berdirinya MAI di daerah-dearah. Maka berdirilah MAI di daerah tertentu atas permintaan masyarakat setempat yang tercermin pada tiga komponen penunjangnya yaitu rakyat, pegawai syara’ dan unsur pemerintahan. Diantaranya cabang tertua itu adalah cabang Bonto-bonto Pangkep, Paria Wajo, Kulo Sidrap dan Soppeng. Hal ini erat kaitannya dengan muballigh-muballigh MAI yang dikirim ke daerah-daerah atas permintaan masyarakat setempat baik untuk menjadi da’i maupun untuk menjadi qurra’/huffatz yang dijadikan imam shalat tarwih selama bulan Ramadhan berlangsung.

Pada saat pendudukan Jepang dimana sekolah-sekolah berada dalam pengawasan Jepang, maka pada saat itu pesantren/madrasah MAI Mangkoso tetap berjalan dengan merobah tempat belajarnya. Kalau dahulunya sebelum ada pengawasan pemerintah pendudukan Jepang, tempat belajar dilakukan di kelas-kelas, maka dalam keadaan darurat ini pelaksanaan pelajaran dilakukan di mesjid-mesjid dan rumah-rumah di mana guru itu berada. Semua kelas dibagi-bagi kemudian diserahkan kepada seorang guru untuk bertanggung jawab terhadap kelas yang merupakan kelompok studi itu dan dapat memilih tempat belajar dimana di rasa aman dan dapat memuat kelompoknya.

C. Musyawawrah Alim Ulama se-Sulawesi Selatan

Pemikiran tentang perlunya ada suatu organisasi menjadi pendorong lahirnya suatu gagasan tentang perlunya ada musyawarah pendidikan. Hal inni didasarkan pada suatu kenyataan adannya perkembangan yang cukup pesat dialami oleh MAI di daerah-daerah (cabanng-cabang).

Dalam rangka pelaksanaan musyawarah pendidikan yang dimaksud ditetapkanlah kota Watang Soppeng sebagai tempat bermusyawarah, karena kota tersebut termasuk daerah yang tidak lagi menjadi daerah pembantaian Wasterling. Atas inisiatif K.H.M.Daud Ismail (Kadhi Soppeng), K.H.Abd.Rahman Dalle MAI Manngkoso dan Syekh Haji Abd.Rahman Firdaus dari Pare-pare bersama K.H. Muh. Abduh Pabbajah dari Allakuang musyawarah tersebut dilaksanakan berentetan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Saw, guna menghindari kecurigaan pihak penguasa pada waktu itu. Dibentuklah suatu panitia peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang personalianya sebagai berikut:

Penasehat         :    KH. M. Daud Ismail ( Kadhi Soppeng)
Ketua                :    H. M Amin Latif
Sekretaris         :    K.A. Karim Ali
Bendahara        :    H.M. Amin Zein.
Anggota            :    H. Ambo Dalle

Setelah selasai perayaan Maulid Nabi, maka acara musyawarah pendidikan yang dihadiri oleh ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan segera diadakan yang bertepatan dengan hari Jum’at 16 Rabiul Awal  1366 H. atau 17 Februari 1947 M. Antara lain yang hadir dalam musyawara tersebut adalah Sayyid Abdu Rahman Firdaus Pare-pare, KH. Abdu rahman Ambo Dalle dari MAI Mangkoso, KH. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), KH.M. Tahir qadhi Balanipa Sinjai, KH.M Zainuddin (Qadhi Majene) KH.M. Kittab Qadhi Soppeng Riaja, KH. Jamaluddin (Qadhi Barru) KH. M. Ma’mun (Qadhi Tinambung), Ustaz H.A.M Tahir Usman dari Madrasa Al Hidayah Soppeng, KH. Abduh Pabbaja. Dari Allakuang, KH. Abdu. Muin Yusuf. (Qadhi Sidenreng, KH. Baharuddin Syatha. Qadhi Suppa. Abdul Hafid. Qadhi Sawitto  dan beberapa ulama senior dan yunior pada waktu itu.

Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan seatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan dan Dakwah dan usaha-usaha sosial untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran islam secara murni dikalangan ummat muslim dan menjamin kelestarian jiwa santri dan patriotisme rakyat Sulawesi selatan yang pada waktu itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir kaum penjajah.


D. Peralihan MAI Mangkoso Menjadi DDI

Sebagai realisasi dari keputusan musywarah alim ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan tentang perlunya dibentuk suatu organisasi dengan lebih meningkatan fungsi dan peranan MAI Mangkoso, maka muncullah beberapa usul tentang nama bagi organisasi yang akan dibentuk itu. Antara lain dari K. H. M. Abuduh Pabbaja dengan nama “Nasrul Haq” dari ustaz H. M. Tahir Usman dengan nama “Al Urwatul Wusqaa” dari Syekh H. Abd Rahman Firdaus dengan nama “Darud Da’wah Wal Irsyad”. Setelah dimusyarawahkan, maka yang disepekati secara bulat adalah nama Darud Da’wah Wal Irsyad.

Manurut Syekh H. Abd. Rahman Firdaus, pemberian nama demikian adalah merupakan tafaul dalam rangka menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian, Darun (دار) = rumah, artinya tempat atau sentral penyiaran,Dakwah    (دعوة) = ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut. Irsyad(ارشاد) = petunjuk, artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul pendidikan pesantren/madrasah. Dengan demikian, Darud Dakwah Wal Irsyad pada hakekatnya adalah suatu organisasi yang mengambil peranan dalam fungsi mengajak manusia ke jalan yang benar dan membimbingnya menurut ajaran Islam ke arah kebaikan dan mendapatkan keselamatan.

Untuk terwujudnya organisasi ini dan agar dapat memulai kegiatan-kegiatannya, oleh musyawarah Alim Ulama diamanatkan kepada K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle selaku pimpinan MAI yang telah memiliki cabanng di beberapa daerah untuk mengambil prakarsa seperlunya. Oleh beliau diadakanlah musyawarah dengan guru-guru MAI beserta utusan cabang-cabang MAI dari daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H (1947 M) di Mangkoso. Bahwa MAI Mangkoso sebenarnya merupakan cikal bakal organisasi persatuan DDI.

Dilihat dari sudut historis sosiologis MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu, 20 Zulkaeddah 1357 H atau 11 Januari 1939 merupakan elemen dasar lahirnya suatu wadah yang ditopang suatu idealisme yang dalam pengembangannya berwujud organisasi persatuan DDI. Atas dasar kerangka berfikir demikian, jelas pula posisi musyawaraah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diselenggarakan pada hari Jum’at 16 Rabiul Awal 1366 H yang bertepatan dengan 17 Februari 1947 di Watang Soppeng sebenarnnya adalah merupakan suatu forum yang berusaha untuk menemukan suatu rumusan yang berupa konsepsi dalam usaha menata potensi umat dengan membenahi dan meningjkatkan peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat, yang membawa konsekwensi diintegarsikannya MAI Manngkoso menjadi organisasi DDI.

Pengintegrasian itu sendiri harus diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan bentuk struktural dsn opersionsl dsri wadah yang bersifat organisasi sekolah semata mata menjadi organisasi yang bersifat kemasyarakatan yang lapangan geraknya mengambil peranan dalam bidang pendidikan dakwah dan usaha-usaha sosial.

E. Mangkoso Sebagai Pusat Organisasi DDI

Pada Awal berdirinya DDI, pusat organsasi ini berkedudukan di Mangkoso yang didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain guna mempermudah diterapkannya penngguanaan nama DDI dalam menngganti nama MAI pada eselon bawah didaerah-daerah yang semula sudah didirikan MAI ditempat itu. Demikian pula karena tempat berkedudukannya K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai pimpinan organisasi berada di Manngkoso.

Sebagai suatu organissasi yang baru berdiri salah satu palilng mendesak untuk dibenahi adalah merampungkan Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang di dalamnya akan digambarkan intensitas antara cheak and balance yang merupakan gambaran berlangsungnya demokratisasi dalam tubuh organisasi.

Untuk merampungkan penyusunan AD/ART ini, ditangani oleh K. H. M. Abduh Pabbajah selaku sekretaris. Semula AD/ART ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian di Indonesiakan oleh K.H.M.Ali Al Yafie guna memudahkan bagi warga Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) untuk memahaminya. Pekerjaan ini dilakukan bersama-sama dengan K. H. M. Amin Nashir. Dan mulai saat ini pula singkatan DDI mulai dipakai.

Dalam memantapkan pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948. Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976 sampai saat sekarang.

Dari musyawarah guru-guru pengurus MAI yang telah diutarakan terdahulu dapat diketemukan kata mufakat yang menyetujui pengintegrasian MAI Mangkoso dengah seluruh cabangnya menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) dengan pusat organisasi berkedudukan di Mangkoso, dan mengkokohkan susunan pengurus yang disusun berdasarkan rekomendasi dari hasil musayawarah Alim Ulama di Watan Soppeng sebagai berikut  :
  • K e t u a                                    : K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle
  • Ketua Muda        :                     : K. H. M. Daud Ismail (Kadhi Soppeng)
  • Penulis Satu                              : K. H. M. Abduh Pabbajah
  • Penulis Dua                              : K. H. M. Ali Al Yafie.
  • Bendahara                                : H. M. Madani
  1. Pembantu-pembantu                 : H. Abd. Muin Yusuf (Kadhi Sidenreng)
  •                                                      K. H.  M. Yunus maratan 
  •                                                      K. H. Abd. Kadir  (Kadhi Maros)
  •                                                      K. H. M. Tahir (Kadhi Malanipa Sinjai)
  •                                                      S. Ali Mathar
  •                                                      K. H. Abd. Hafid (Kadhi Sawitto)
  •                                                      K. H. Baharuddin Syata (Kadhi Suppa)
  •                                                      K. H. Kittab (Kadhi Soppeng Riaja)
  •                                                      H. Muchadi Pangkajene
  •                                                      T. N. B. Pare-pare
  1. Penasehat                                    :  Syekh K. H. M. As’ad Sengkang
  •                                                       Syekh Haji Amoedi
  •                                                       Syekh H. Abd. Rahman Firdaus
  •                                                       Haji Zaenuddin  (Jaksa Pare-pare)
  •                                                       M. Aqib Macasai 


Dengan susunan pengurus tadi terwujudlah secara utuh hasil musyawarah Alim Ulama se-Sulawesi Selatan tentang pembentukan organisasi Islam yang secara kongkritnya di tempuh dengan jalan mengintegrasikan MAI Mangkoso menjadi DDI. Dengan prosedur yang demikian itu kita mendapatkan kejelasan bahwa DDI itu adalah  MAI Mangkoso dan MAI Mangkoso itulah  cakar bekal DDI.

F. Kota Pare-pare dan Darud Dakwa Wal-Irsyad (DDI)



Dalam usaha lebih meningkatkan koordinasi cabang-cabang DDI yang sudah ada maupun untuk pengembangannya di daerah-daerah yang belum berdiri, maka pimpinan pusat DDI yang sejak tahun 1947 berkedudukan di Mangkoso kemudian pada tahun 1950 dialihkan kePare-pare. 

Hal ini terutama disebabkan karen Pare-pare merupakan kota yang cukup strategis dalam kaitan poros perjalanan geografisnya. Di lingkungan daerah-daerah Sulsel dengan posisi letaknya yang berada di tengah-tengah poros jaringan perhubungan yang menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, baik melalui darat umum maupun laut. Hal ini dapat dilihat pelabuhan Pare-pare yang melayani 11 daerah Hinterland yaitu :

  • Kabupaten Barru yang jaraknya dari Pare-pare                      55 Km
  • Kabupaten Pinrang jaraknya dari Pare-pare                            28 Km
  • Kabupaten Enrekang jaraknya dari Pare-pare                         81 Km
  • Kabupaten Polmas Jaraknya dari Pare-pare                            93 Km
  • Kabupaten Majene jaraknya dari Pare-pare                            148 Km
  • Kabupaten Sidrap jaraknya dari Pare-pare                             29 Km
  • Kabupaten Tanah Toraja jaraknya dari Pare-pare                   157 Km
  • Kabupaten Luwu jaraknya dari Pare-pare                              240 Km
  • Kabupaten Soppeng jarakanya dari Pare-pare                        88 Km
  • Kabupaten Wajo jarakanya dari Pare-pare                              86 Km
  • Kabupaten Mamuju jaraknya dari Pare-pare                           289 Km
Faktor lain yang menunjang perpindahan itu adalah adanya beberapa dermawan/ pembina DDI setempat bersedia dalam penyediaan fasilitas akomodasi dan logistik organisasi disamping sektor yang berkaitan dengan K.H. Abd. Rahaman Ambo Dalle yang pada saat itu menjabat sebagai kadhi Suwapraja Mallusetasi di Pare-pare.

Dalam usaha perpindahan itu, dibangunlah madrasah/pesantren DDI Pusat yang berlokasi di sebelah selatan Masjid Raya Pare-pare. Kini lokasi tersebut telah menjadi lokasi Rumah Bersalin dan Apotik Ad Dariyah DDI.

Oleh karena perkembangan pesantren pusat DDI cukup baik maka pada tahun 1957 dibanngunlah Kampus Baru Pondok Pesantren DDI di daerah Ujung Lare Pare-pare. Kampus Baru ini luasnnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan perakntoran PB DDI disamping lokal-lokal  belajar para santri. Sampai saat sekarang bangunan tersdebut masih dimanfaatkan untuk mengurusi semua eselon organisasi, madrasah serta perguruan tinggi DDI yang tergeser di 15 Porpinsi di Indonesia. Pembanguna gedung ini beserta pembelian atas tanahnya merupakan pendayagunaan sumbangan Menteri Agama RI. K.H.M.Iyas yang jumlahnya Rp.2.500.000,-

Sebagai gambran berakarnya DDI di Kotamadya Pare-pare dapat dilihat dari 29 Madrasah yang ada dalam Kotamadya ini terdapat 25 buah adalah madrasah DDI yaitu : 4 buah tingakat Raudhatul Athfal, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah dan 3 buah tingkat Aliyah[5]. Bahkan di Pare-pare inni pula berkedudukan Universitas Islam DDI yang membawahi fakultas-fakultas berikut :

  • fakultas Ushuluddin di Pare-Parre
  • Fakultas Tarbiyah di Pare-pare
  • Fakultas Syariyah di Mangkoso
  • Fakultas Tarbiyah Pangkajene Sidrap
  • Fakultas Tarbiyah Polmas
  • Fakultas Tarbiyah Pangkep
  • Fakultas Tarbiyah Majene
  • Fakultas Tarbiyah Maros
  • Fakultas Syariyah Pattojo
  • Fakultas Tarbiyah Tingkat Doktoral di Pare-pare.
  • Fakultas Ushululddin tinngkat Doktoral di Pare-pare.
  • STKIP DDI di Polewali dan Majene.
G. Azas Organisai DDI

Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar DDI pada pasal 2 tercantum bahwa organnisai persatuan ini berazaskan syariat Islam sepanjang pengertian Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Azas inilah dicanagkan pada awal berdirinya sampai pada Mukhamar ke 14. Sesuai perkembangan dan tingkat perjuangan organisasi maka dalam Mukhtamar DDI ke-15 pasal 2 AD-DDI lebih disempurnakan dengan perubahan sebagai berikut :

                 1)      Persatuan ini berazaskan Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
                 2)      Persatuan ini berazaskan Pancasila.

Pancasila sebagai falsafah ngara yang menjadi azas organisasi DDI, mengandung pengertian bahwa pandangan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat warga Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) adalah Pancasila.Dalam bidang Aqidah ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah sistem nilai yanng dianut Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI). Dalam DDI kelihatnnya istilah Ahlussunnah itu lebih merupakan istilah idiologiyag meringkas gambaran menyeluruh tentang Way of life-nya bukan sekedar istilah dalam ilmu kalam atau teologi tapi menyangkut selluruh aspek kehidupannya.

Dalam bidang teologi sistem nilai yang dianut dan dikembangkan adalah mengikuti faham Asyariyah. Dalam bidang fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al Qur’an, Al Hadits, Al Ijma (konsensus para Ulama) dan Qiyas (analogi) berbeda dengan golongan-golongan lainnya yang tidak menngakui keutuhan empat sumber pengambilan hukum itu yang cenderung untuk tidak menggunakan Ijma’ dan Qiyas dengan menggantinya dengan Ijtihad, walaupun sangnt sulit membedakannya secara mendasar antara Ijma-Qiyas dengan ijtihad.

Ahlussunnah sebagai suatu ajaran biasanya secara singkat disebut Ahlussunnah atau golongan Sunny, yang merupak golongan terbesar di dunia disamping syiah. Dari sgi historis sosiologi sesunguhnya dapat diaktakan bahwa golongan suny tumbuh secara depesnif tidak bergabung dengan syiah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah khalifah ketiga Usman wafat. Dari segi historis teologis pertumbuhan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mulai muncul secara bersama-sama dalam rangkaian empat aliran hukum yanng terkenal yaitu aliran atau mazhab yakni mzhab Hanafi, Maliki, Syafie, dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad ke dua Hijriyah. Pada masa ini fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Syariah yang pada dulunya dimaksudkan hanya fikhi.

Pertentangan teologi dalam Islam mula-mula timbul sekitar persoalan apakah manusia berkebebasan atau dalam keaadaan terpaksa (tak berdaya) berhadapan dengan takdir Tuhan. Timbul golongan kadariyah yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan. Lahir pula golongan Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia adalah dalam keadaan sepenuhnya hanya tergantung pada ketentuan Tuhan. Kemudian muncul pula golongan Mu’tazilah dengan tokohnya Washil bin atha’ yang berpendapat bahwa manusia tiu bebas atau mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya dan tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.

Pada saat itu dapat dikatakan bahwa sunnah nabi dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabatnya tidak lagi difungsikan secara wajar ditenagh-tengah masyarakat Islam. Maka terdorong oleh situasi yang demikian, timbullah kesadaran sekelompok ulama/cendekiawan islam sehingga lahirlah apa yang dinamakan golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Kritalisasi doktrim teologis ini berlangsung sekitar abad kesepuluh masehi atau pada abad ketiga Hijriyah. Sebelum masa inni sebenarnya ajaran Islam ahlussunnah itu tetap ada dan dianuut oleh kaum muslimin, tapi belum terkonsenterasikan dalam suatu kelompok atau firqah, karena masih berjalan sebagaimana pada Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggoongan yang demikian sebab memang hanya ajaran satu-satunya itulah yang dianut masayarakat kaum muslimin tidak ada ajaran atau firqah-firqah yang mengelompokkan aum muslimin dalam hal kehidupan aqidahnya.

Kebangkitan Ulama/cendekiawan tersebut, terutama diilhami oleh suatu hadits Rasulullah yang berbunyi  :  2)

من احيا  سنة من سنتى قد اميتت بعدى فان له من الأجر مثل من عمل بها من غير ان ينقص من اجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله كان عليه من الاثم مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من اوزارهم شيئا
Artinya  :
Barang siapa yang menghidupkan satu sunnah-sunnahku yanng tercecer sesudah matiku, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala sebagaimana oranng yang mengamalkannya tanpa dikurangi barang sedikitpun. Dan barangsiapa yang mendatangkan bid’ah yang jelek yang tidak diredhai oleh Allah Swt dan rasulnnya, adalah baginya dosa sebagaimana dosa-dosa dari pada orang-orang yang mengerjakannya tidak kurang barang sedikitpun.

Dalam banyak hadits Rasulullah Saw memberikan gambaran akan munculnya firqah/golongan dikalangan umat Islam, tapi yang selamat adalah mereka yang menganut ajaranIslam ahlussunnah Wal Jama’ah.                                                      
Diantara Hadits-hadits itu adalah  :

افترقت اليهود على احدى او اثنتين و سبعين فرقة والنصارى كذلك وتفترق امّّتى على ثلاثة وسبعين فرقة كلّّّهم فى النّار الاّ واحد: قلوا من هى يا رسول الله. ما انا عليه و  اصحابى 
Artinya :
Berpecah – belah Yahudi menjadi 71 atau 72 golongan. Dan Nasrani demikian juga. Berpecah-pecah ummatku nanti menjadi 73 golongan. Semuanya masuk keneraka, kecuali satu. Sahabat-sahabat bertanya ; siapakah glonngan itu ya Rasulullah? Jawab Nabi, itulah golongan yang tetap menjalani sebagai yang ku jalankan dan sahabat-sahabatku (yang belum berobah dari apa yang dijalankan Nabi dan sahabat  3).

Adapun sokoguru berdirinya golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sebagaia berikut  :

  • Ulama Muhaddisin.
Ulama atau cendekiawan dalam bidang hadits ialah yang arif dan mengetahui segala seluk beluk sanad, mathan, hadits dan dapat memisahkan mana-mana hadits shahih, hasan, dhaif dan hal-hal yang berhubungan dengan hadts nabi secara keseluruhan.

  • Ulama Fikhi.
Ulama/cendekiawan dalam hukum Islam ialah yang mengetahui syah atau tidaknya ibadah seseoranng atau masalahnya dengan berdasarkan nash Al qur’an, sunnah Nabi, Ijma’ serta qiyas dan menguasai alat-alat ishtibath dalam menetapkan hukum.

  • Ulama Usuluddin.
Ulama/cendekiawan yang ahli dalam bidang teologi Islam adalah mereka yang mengetahui sifat-siafat ketuhanan, baik sifat-sifat wajib, mustahil maupun jahiz terhadap Allah Swt. Sesuai dedngan dalil-dallil akly yang bersumbber dari pada akal yang sehat.

  • Ulama Tassauf.
Ialah ulama yang berusaha mendekatka diri secara bathiniyah dari semua hijab yang dapat menghalanginya dalam mengingat Allah Swt. Dengan mengguanakan cara-cara tertentu.

Diantara pelopor kebangkitan itu adalah Abu Hasan al Asyari (873 – 935 M) lahir di Basharah tapi dibesarkan di Bagdad. Mula-mula dia sendiri adalah orang Mu’tazilah dan murid seorang ulama besar mutazilah yaitu Al Jubbai. Akan tetapi pada usia sekitar 40 tahun ia beralih menjadi penganut faham orthodoks (Ahlussunnah) yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi pembanguna sistem teologi sunni dengan berhasilnya merumuskan sistem kepercayaan yang secara umum dianut  muslimin sejak dari zaman Rasulullah dan sahabatnya.

Faham Asya’ariyah ini pada mulanya dicurigai oleh kaum muslimin sebab faham ini pada dasarnya adalah merupakan suatu modus vivendi antara faham kadariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyabbihah yang mensifatkan Tuhan sama sifat makhluknya dengan faham Mu’taziah yang menentang ada Tuhan mempunyai sifat. Tapi berkat pengaruh Imam Al Gazali seorang penganut faham Asyariyah, maka semakin popelerlah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya seabagi suatu sistem teologi satu-satunya dalam dunia Islam.

Dalam memantapkan pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948. Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976 sampai saat sekarang.

SUMBER I  SUMBER II
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. BLOG STAI DDI MAKASSAR - All Rights Reserved
Darud Da'wah Wal-Irsyad Wadah Persatuan Membangun Peradaban Islamdalam bingkai NKRI