MADRASAH ARABIYAH
ISLAMIYAH (MAI)
A. Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang.
STAI DDI MKS - Salah satu Madrasah (Lembaga
Pendidikan) tertua dan dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan adalah Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo yang didirikan pada bulan Zulkaeddah
1348 H atau bertepatan bulan Mei 1930 M oleh Anregurutta K.H.M. As’ad yang
baru saja kembali dari Mekah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa
belajarnya pada Madrasah Al Falah Mekah.
Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI)
Sengkang Wajo mula berdirinya hanya merupakan pengajian pesantren yang
pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman beliau. Setelah santrinya
bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Mesjid Jami
Sengkang. Dan dalam perkembangan lebih lanjut didirikan pula dalam bentuk
pendidikan formal yakni sistem Madrasah yang pengaturannya dipercayakan kepada
K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Madrasah Arabiyah Islamiyah
Sengkang tidak berkembang secara meluas sebab oleh pendirinya tidak dibenarkan
membuka cabang di daerah-daerah. Hal disebabkan oleh kehawatiran beliau
terahadap ketidak mampuan mengkordinirnya sehingga dapat memberikan citra yang
kurang baik terhadap MAI Sengkang termasuk dalam hal ini menjaga mutunya.
Namuan demikian berkat pembinaan yang dilakukan oleh K.H. M.As’ad baik, maka
dari MAI Sengkang inilah lahir ulama-ulama penting di Sulawesi Selatan,
misalnya K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle, K.H.M. Daud Ismail, K.H. Muh. Abduh
Pabbajah, K.H.M.Yunus Maratan dan lain-lainnya.
Setelah berselang beberapa saat
lamanya setelah K.H.M. As’ad meninggal yaitu pada hari Senin 12 Rabiul Akhir
1372 H yang bertepatan dengan 29 Desember 1952 dalam usia 45 tahun. Maka untuk
mengenang jasa-jasa beliau, MAI Sengkang diintegrasikan menjadi Perguruan
As’adiyah. Ini terjadi pada tanggal 25 Sya’ban 1372 H yang bertepatan dengan 9
Mei 1953 berdasarkan hasil mufakat dari musyawarah yang dilakukan oleh
kalangan warga MAI Sengkang pada waktu itu.
Pada masa setelah perubahan nama
inilah As’adiyah mengalami perkembangan lebih meluas karena pembukaan
cabang-cabang di daerah sudah ditensifkan yang semula tidak dibenarkan. Kini
As’adiyah sudah memiliki madrasah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai pada
tingkat Perguruan Tinggi.
B. Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso
Diantara yang berualang kali
mengajukan permohonan kepada K.H.M.As’ad selaku pimpinan MAI Sengkang agar
dapat didirikan pesantren Madrasah MAI di daerahnya adalah H.Andi Muh.Yusuf
Andi Dagong Kepala Pemerintahan Swapraja Soppeng Riaja bersama kadhinya yang
bernama H.Kittab dengan mengajukan usul calon pimpinan perguruan yang akan
didirikan adalah K.H.Abd. Rahman Ambo Dalle. Terdapat pula daerah lain yang sering
mengajukan usul yang serupa yaitu Pare-pare dan Palopo.
Permohonan ini pada mulanya
selalu ditolak oleh K.H.M.As’ad karena menurut beliau kepindahan K. H. Abdul
Rahman Ambo Dalle, sebagai pembantu terdekatnya dalam membina pesantren
madrasah dapat menghambat kemajuan MAI Sengkang yang merupakan sentral
pendidikan dan pengajaran Islam di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Oleh karena
permohonan terus-menerus oleh mereka, maka dengan hati berat pada akhirnya
K.H.M As’ad menyerahkan masalahnya kepada K.H.Abd Rahman Ambo Dalle, apakah
permintaan Arung Soppeng Riaja dan masyarakatnya itu dipenuhi atau ditolak.
Dengan pertimbangan demi untuk kepentingan pendidikan ummat Islam permohonan
tersebut diterima oleh K.H.Abd Rahman Ambo Dalle.
Setelah K.H.Abd Rahman Ambo Dalle
berada di Mangkoso ibukota Swapraja Soppeng Riaja sebagai tempat tugasnya yang
baru, maka setelah diadakan seleksi/testing terhadap calon santri pada tanggal
11 Januari 1938 bertepatan dengan hari Rabu 20 Zulkaedah 1357 H. Berdasarkan
hasil evaluasi testing itu, dibuatlah tiga tingkatan sekaligus yaitu tingkatan
Tahdiriyah, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
Hal ini dimungkinkan karena
beberapa santri senior beralih juga ke Mangkoso disamping adanya santri-santri
yang dahulunya terpusat ke MAI Sengkang sekarang sebahagian beralih ke
Mangkoso. Disini terlihat bahwa apa yang menjadi kehawatiran K.H.M. As’ad atas
kepindahan K.H.Abd Rahman Ambo Dalle akan membawa pengaruh atas perkembangan
MAI Sengkang bener-benar terbukti.
Adapun nama pesantren Madrasah
yang didirikan ini diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) identik dengan
nama pesantren madrasah yang diasuh oleh K.H.M.As’ad di Sengkang Wajo,
sekalipun bila dilihat dari sudut organisatoris dan administratif antara
keduanya tidak ada hubungan struktural yang formil. Ini disebabkan oleh bleid
kepemimpinan K.H.M.As’ad yang tetap tidak mau membenarkan adanya cabang MAI
Sengkang di daerah-daerah.
Pembina utama Madrasah Arabiyah
Islamiyah (MAI) Mangkoso pada awal berdirinya adalah H.Andi Tobo petta Gowa dan
H.M.Yusuf Andi Dagong yang telah menyediakan dana logistik untuk pembiayaan MAI
dalam rangka menjamin perkembangannya. Sedangkan pimpinan pesantren/madrasah
sekaligus juga sebagai penanggung jawab penuh berada di tengah K.H.Abd Rahman
Ambo Dalle dengan didampingi oleh guru-guru vak mata pelajaran tertentu antara
lain K.H.Amin Nashir, K.H.Harun Al Rasyid, K.H. Abd Kadir Khalid MA, K.H. Abd.
Hanan, K.H. Abd Rahman Matemmang, K.H.M.Aqib Siangka, Ustaz H.Haddad, K.H.M.
Amberi Said dan lain-lainnya.
Pelajaran yang diutamakan pada
madrasah MAI saat itu adalah Al-Qur’an, Tafsir, Hadits, Tauhid, Fikhi, Usul
Fikhi dan Tarekh (Sejarah Islam). Sedangkan pelajaran ahlak disamping teori
juga langsung dalam peraktek yang dituangkan dalam peraturan-peraturan kampus.
Termasuk pula diajarkan adalah ilmu tarbiyah dan Dakwah.Adapun pelaksanaan
pengajian pesantren dilakukan pada waktu sesudah shalat Magrib, Isya dan Subuh
dengan materi Tafsir, Hadist, Fikhi, Tauhid, Akhlak, Bahasa Arab dengan
alat-alatnya. Disamping itu diadakan pula muthalaah terpimpin.
Dalam usaha pembinaan da’i-da’I,
ditempuh dengan latihan tabligh yang dilaksanakan pada setiap hari Kamis,
sedangkan usaha pembinaan Jami’atul Huffadz ditangani oleh tenga-tenaga khusus
yaitu K.H.M.Aqib Siangka, K.H.Harun Al Rasyid, dan K.H. Zainuddin. Dalam usaha
efektifnya bidang ini setiap santri diharuskan menghafal satu juz Al-Qur’an
setiap tahunnya.
Diantara huffadz yang dihasilkan
adalah H.Zainuddin Haer Pangkep, Ahmad Jagong Pangkep, H.M.Asaf Bone, Abd Rauf
Bontobonto, M.Haedar pangkep, Abd.Majid dan lambu Camba. Terdapat diantara
mereka itu yang dapat menyelesaikan hafalannya dalam waktu yang cukup singkat
misalnya S. Abdullah Al Ahdhaly dalam masa 30 hari dan H. Zainuddin dalam waktu
40 hari dapat menyelesaikannya 30 Juz Al-Qur’an untuk dihafal.
Pada tahun-tahun pertama
berdirinya MAI Mangkoso santri-santrinya kebanyakan berasal dari sekitar daerah
Mangkoso dan Barru. Tapi setelah berjalan sekitar 2 tahun, maka santri mulai
berdatangan dari daerah-daerah bagian Sulawesi lainnya bahkan mulai ada
dari Kalimantan dan Sumatera.
Untuk memberi kesempatan kepada
para santri untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, maka setiap bulan
Sya’ban diadakan penamatan dengan mengudang orang tua mereka untuk
menyaksikannya sebagai akhir tahun ajara. Dan kelak bulan syawal sesudah
ramadhan tahun ajaran dimulai kembali sebagai sedia kala.
Dalam perkembangan MAI
selanjutnya dengan melihat melimpahnya santri dan telah banyaknya tamatan
Tsanawiyah MAI, maka pada tahun 1947 dibukalah Aliyah Lil Banin MAI khusus
untuk laki-laki dan dalam pengembangan selanjutnnya pada tahun 1944 didirikan
pula Aliyah Lil Banat MAI khusus untuk putri.
Dalam pengembangan MAI Mangkoso
terdapat peluang yang cukup baik sebab kebijaksanaan K.H.Abd.Rahman Ambo Dalle
adalah membenarkan berdirinya MAI di daerah-dearah. Maka berdirilah MAI di
daerah tertentu atas permintaan masyarakat setempat yang tercermin pada tiga
komponen penunjangnya yaitu rakyat, pegawai syara’ dan unsur pemerintahan.
Diantaranya cabang tertua itu adalah cabang Bonto-bonto Pangkep, Paria Wajo,
Kulo Sidrap dan Soppeng. Hal ini erat kaitannya dengan muballigh-muballigh MAI
yang dikirim ke daerah-daerah atas permintaan masyarakat setempat baik untuk
menjadi da’i maupun untuk menjadi qurra’/huffatz yang dijadikan imam shalat
tarwih selama bulan Ramadhan berlangsung.
Pada saat pendudukan Jepang
dimana sekolah-sekolah berada dalam pengawasan Jepang, maka pada saat itu
pesantren/madrasah MAI Mangkoso tetap berjalan dengan merobah tempat
belajarnya. Kalau dahulunya sebelum ada pengawasan pemerintah pendudukan
Jepang, tempat belajar dilakukan di kelas-kelas, maka dalam keadaan darurat ini
pelaksanaan pelajaran dilakukan di mesjid-mesjid dan rumah-rumah di mana guru
itu berada. Semua kelas dibagi-bagi kemudian diserahkan kepada seorang guru
untuk bertanggung jawab terhadap kelas yang merupakan kelompok studi itu dan
dapat memilih tempat belajar dimana di rasa aman dan dapat memuat kelompoknya.
C. Musyawawrah
Alim Ulama se-Sulawesi Selatan
Pemikiran tentang perlunya ada
suatu organisasi menjadi pendorong lahirnya suatu gagasan tentang perlunya ada
musyawarah pendidikan. Hal inni didasarkan pada suatu kenyataan adannya
perkembangan yang cukup pesat dialami oleh MAI di daerah-daerah (cabanng-cabang).
Dalam rangka pelaksanaan musyawarah pendidikan yang dimaksud ditetapkanlah kota
Watang Soppeng sebagai tempat bermusyawarah, karena kota tersebut termasuk
daerah yang tidak lagi menjadi daerah pembantaian Wasterling. Atas inisiatif
K.H.M.Daud Ismail (Kadhi Soppeng), K.H.Abd.Rahman Dalle MAI Manngkoso dan Syekh
Haji Abd.Rahman Firdaus dari Pare-pare bersama K.H. Muh. Abduh Pabbajah dari
Allakuang musyawarah tersebut dilaksanakan berentetan dengan peringatan Maulid
Nabi Besar Muhammad Saw, guna menghindari kecurigaan pihak penguasa pada waktu
itu. Dibentuklah suatu panitia peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang
personalianya sebagai berikut:
Penasehat
: KH. M. Daud Ismail ( Kadhi Soppeng)
Ketua
: H. M Amin Latif
Sekretaris
: K.A. Karim Ali
Bendahara
: H.M. Amin Zein.
Anggota
: H. Ambo Dalle
Setelah selasai perayaan Maulid
Nabi, maka acara musyawarah pendidikan yang dihadiri oleh ulama Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah se-Sulawesi Selatan segera diadakan yang bertepatan dengan hari Jum’at
16 Rabiul Awal 1366 H. atau 17 Februari 1947 M. Antara lain yang hadir dalam
musyawara tersebut adalah Sayyid Abdu Rahman Firdaus Pare-pare, KH. Abdu rahman
Ambo Dalle dari MAI Mangkoso, KH. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), KH.M. Tahir
qadhi Balanipa Sinjai, KH.M Zainuddin (Qadhi Majene) KH.M. Kittab Qadhi Soppeng
Riaja, KH. Jamaluddin (Qadhi Barru) KH. M. Ma’mun (Qadhi Tinambung), Ustaz
H.A.M Tahir Usman dari Madrasa Al Hidayah Soppeng, KH. Abduh Pabbaja. Dari
Allakuang, KH. Abdu. Muin Yusuf. (Qadhi Sidenreng, KH. Baharuddin Syatha. Qadhi
Suppa. Abdul Hafid. Qadhi Sawitto dan beberapa ulama senior dan yunior pada
waktu itu.
Salah satu keputusan penting dari
musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan seatu organisasi Islam yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan Dakwah dan usaha-usaha sosial untuk
membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya
ajaran islam secara murni dikalangan ummat muslim dan menjamin kelestarian jiwa
santri dan patriotisme rakyat Sulawesi selatan yang pada waktu itu sedang
mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir kaum penjajah.
Manurut
Syekh H. Abd. Rahman Firdaus, pemberian nama demikian adalah merupakan tafaul
dalam rangka menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian, Darun (دار) = rumah, artinya tempat atau sentral
penyiaran,Dakwah (دعوة)
= ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut. Irsyad(ارشاد) = petunjuk, artinya petunjuk itu akan
didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul
pendidikan pesantren/madrasah. Dengan demikian, Darud Dakwah Wal Irsyad pada
hakekatnya adalah suatu organisasi yang mengambil peranan dalam fungsi mengajak
manusia ke jalan yang benar dan membimbingnya menurut ajaran Islam ke arah
kebaikan dan mendapatkan keselamatan.
Untuk
terwujudnya organisasi ini dan agar dapat memulai kegiatan-kegiatannya, oleh
musyawarah Alim Ulama diamanatkan kepada K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle selaku
pimpinan MAI yang telah memiliki cabanng di beberapa daerah untuk mengambil
prakarsa seperlunya. Oleh beliau diadakanlah musyawarah dengan guru-guru MAI
beserta utusan cabang-cabang MAI dari daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H
(1947 M) di Mangkoso. Bahwa MAI Mangkoso sebenarnya merupakan cikal bakal
organisasi persatuan DDI.
Dilihat
dari sudut historis sosiologis MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu, 20
Zulkaeddah 1357 H atau 11 Januari 1939 merupakan elemen dasar lahirnya suatu
wadah yang ditopang suatu idealisme yang dalam pengembangannya berwujud
organisasi persatuan DDI. Atas dasar kerangka berfikir demikian, jelas pula
posisi musyawaraah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diselenggarakan pada
hari Jum’at 16 Rabiul Awal 1366 H yang bertepatan dengan 17 Februari 1947 di
Watang Soppeng sebenarnnya adalah merupakan suatu forum yang berusaha untuk
menemukan suatu rumusan yang berupa konsepsi dalam usaha menata potensi umat
dengan membenahi dan meningjkatkan peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat
dan kebutuhan masyarakat, yang membawa konsekwensi diintegarsikannya MAI
Manngkoso menjadi organisasi DDI.
Pengintegrasian
itu sendiri harus diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan bentuk
struktural dsn opersionsl dsri wadah yang bersifat organisasi sekolah semata
mata menjadi organisasi yang bersifat kemasyarakatan yang lapangan geraknya
mengambil peranan dalam bidang pendidikan dakwah dan usaha-usaha sosial.
E. Mangkoso Sebagai Pusat Organisasi
DDI
Pada
Awal berdirinya DDI, pusat organsasi ini berkedudukan di Mangkoso yang
didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain guna mempermudah
diterapkannya penngguanaan nama DDI dalam menngganti nama MAI pada eselon bawah
didaerah-daerah yang semula sudah didirikan MAI ditempat itu. Demikian pula
karena tempat berkedudukannya K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai pimpinan
organisasi berada di Manngkoso.
Sebagai suatu organissasi yang baru berdiri salah satu
palilng mendesak untuk dibenahi adalah merampungkan Anggaran Dasar dan anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) yang di dalamnya akan digambarkan intensitas antara cheak
and balance yang merupakan gambaran berlangsungnya demokratisasi dalam
tubuh organisasi.
Untuk
merampungkan penyusunan AD/ART ini, ditangani oleh K. H. M. Abduh Pabbajah
selaku sekretaris. Semula AD/ART ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian di
Indonesiakan oleh K.H.M.Ali Al Yafie guna memudahkan bagi warga Darud Da’wah
Wal Irsyad (DDI) untuk memahaminya. Pekerjaan ini dilakukan bersama-sama dengan
K. H. M. Amin Nashir. Dan mulai saat ini pula singkatan DDI mulai dipakai.
Dalam
memantapkan pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya
hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di
daerah serta untuk memudahkan pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan
organisasi, diterbitkanlah suatu Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah
yang mulai terbit pada tahun 1948. Setelah sekian lama mengalami masa vokum,
Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena
kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam
pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976 sampai saat sekarang.
Dari
musyawarah guru-guru pengurus MAI yang telah diutarakan terdahulu dapat
diketemukan kata mufakat yang menyetujui pengintegrasian MAI Mangkoso dengah
seluruh cabangnya menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) dengan pusat organisasi
berkedudukan di Mangkoso, dan mengkokohkan susunan pengurus yang disusun berdasarkan
rekomendasi dari hasil musayawarah Alim Ulama di Watan Soppeng sebagai
berikut :
- K e t u a : K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle
- Ketua Muda : : K. H. M. Daud Ismail (Kadhi Soppeng)
- Penulis Satu : K. H. M. Abduh Pabbajah
- Penulis Dua : K. H. M. Ali Al Yafie.
- Bendahara : H. M. Madani
- Pembantu-pembantu : H. Abd. Muin Yusuf (Kadhi Sidenreng)
- K. H. M. Yunus maratan
- K. H. Abd. Kadir (Kadhi Maros)
- K. H. M. Tahir (Kadhi Malanipa Sinjai)
- S. Ali Mathar
- K. H. Abd. Hafid (Kadhi Sawitto)
- K. H. Baharuddin Syata (Kadhi Suppa)
- K. H. Kittab (Kadhi Soppeng Riaja)
- H. Muchadi Pangkajene
- T. N. B. Pare-pare
- Penasehat : Syekh K. H. M. As’ad Sengkang
- Syekh Haji Amoedi
- Syekh H. Abd. Rahman Firdaus
- Haji Zaenuddin (Jaksa Pare-pare)
- M. Aqib Macasai
Dengan
susunan pengurus tadi terwujudlah secara utuh hasil musyawarah Alim Ulama
se-Sulawesi Selatan tentang pembentukan organisasi Islam yang secara
kongkritnya di tempuh dengan jalan mengintegrasikan MAI Mangkoso menjadi DDI.
Dengan prosedur yang demikian itu kita mendapatkan kejelasan bahwa DDI itu
adalah MAI Mangkoso dan MAI Mangkoso itulah cakar bekal DDI.
Dalam
usaha lebih meningkatkan koordinasi cabang-cabang DDI yang sudah ada maupun
untuk pengembangannya di daerah-daerah yang belum berdiri, maka pimpinan pusat
DDI yang sejak tahun 1947 berkedudukan di Mangkoso kemudian pada tahun 1950
dialihkan kePare-pare.
Hal ini terutama disebabkan karen Pare-pare merupakan kota yang cukup strategis dalam kaitan poros perjalanan geografisnya. Di lingkungan daerah-daerah Sulsel dengan posisi letaknya yang berada di tengah-tengah poros jaringan perhubungan yang menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, baik melalui darat umum maupun laut. Hal ini dapat dilihat pelabuhan Pare-pare yang melayani 11 daerah Hinterland yaitu :
Hal ini terutama disebabkan karen Pare-pare merupakan kota yang cukup strategis dalam kaitan poros perjalanan geografisnya. Di lingkungan daerah-daerah Sulsel dengan posisi letaknya yang berada di tengah-tengah poros jaringan perhubungan yang menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, baik melalui darat umum maupun laut. Hal ini dapat dilihat pelabuhan Pare-pare yang melayani 11 daerah Hinterland yaitu :
- Kabupaten Barru yang jaraknya dari Pare-pare 55 Km
- Kabupaten Pinrang jaraknya dari Pare-pare 28 Km
- Kabupaten Enrekang jaraknya dari Pare-pare 81 Km
- Kabupaten Polmas Jaraknya dari Pare-pare 93 Km
- Kabupaten Majene jaraknya dari Pare-pare 148 Km
- Kabupaten Sidrap jaraknya dari Pare-pare 29 Km
- Kabupaten Tanah Toraja jaraknya dari Pare-pare 157 Km
- Kabupaten Luwu jaraknya dari Pare-pare 240 Km
- Kabupaten Soppeng jarakanya dari Pare-pare 88 Km
- Kabupaten Wajo jarakanya dari Pare-pare 86 Km
- Kabupaten Mamuju jaraknya dari Pare-pare 289 Km
Faktor
lain yang menunjang perpindahan itu adalah adanya beberapa dermawan/ pembina
DDI setempat bersedia dalam penyediaan fasilitas akomodasi dan logistik
organisasi disamping sektor yang berkaitan dengan K.H. Abd. Rahaman Ambo Dalle
yang pada saat itu menjabat sebagai kadhi Suwapraja Mallusetasi di Pare-pare.
Dalam usaha perpindahan itu, dibangunlah madrasah/pesantren DDI Pusat yang berlokasi di sebelah selatan Masjid Raya Pare-pare. Kini lokasi tersebut telah menjadi lokasi Rumah Bersalin dan Apotik Ad Dariyah DDI.
Oleh karena perkembangan pesantren pusat DDI cukup baik maka pada tahun 1957 dibanngunlah Kampus Baru Pondok Pesantren DDI di daerah Ujung Lare Pare-pare. Kampus Baru ini luasnnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan perakntoran PB DDI disamping lokal-lokal belajar para santri. Sampai saat sekarang bangunan tersdebut masih dimanfaatkan untuk mengurusi semua eselon organisasi, madrasah serta perguruan tinggi DDI yang tergeser di 15 Porpinsi di Indonesia. Pembanguna gedung ini beserta pembelian atas tanahnya merupakan pendayagunaan sumbangan Menteri Agama RI. K.H.M.Iyas yang jumlahnya Rp.2.500.000,-
Sebagai gambran berakarnya DDI di Kotamadya Pare-pare dapat dilihat dari 29 Madrasah yang ada dalam Kotamadya ini terdapat 25 buah adalah madrasah DDI yaitu : 4 buah tingakat Raudhatul Athfal, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah dan 3 buah tingkat Aliyah[5]. Bahkan di Pare-pare inni pula berkedudukan Universitas Islam DDI yang membawahi fakultas-fakultas berikut :
Dalam usaha perpindahan itu, dibangunlah madrasah/pesantren DDI Pusat yang berlokasi di sebelah selatan Masjid Raya Pare-pare. Kini lokasi tersebut telah menjadi lokasi Rumah Bersalin dan Apotik Ad Dariyah DDI.
Oleh karena perkembangan pesantren pusat DDI cukup baik maka pada tahun 1957 dibanngunlah Kampus Baru Pondok Pesantren DDI di daerah Ujung Lare Pare-pare. Kampus Baru ini luasnnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan perakntoran PB DDI disamping lokal-lokal belajar para santri. Sampai saat sekarang bangunan tersdebut masih dimanfaatkan untuk mengurusi semua eselon organisasi, madrasah serta perguruan tinggi DDI yang tergeser di 15 Porpinsi di Indonesia. Pembanguna gedung ini beserta pembelian atas tanahnya merupakan pendayagunaan sumbangan Menteri Agama RI. K.H.M.Iyas yang jumlahnya Rp.2.500.000,-
Sebagai gambran berakarnya DDI di Kotamadya Pare-pare dapat dilihat dari 29 Madrasah yang ada dalam Kotamadya ini terdapat 25 buah adalah madrasah DDI yaitu : 4 buah tingakat Raudhatul Athfal, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah dan 3 buah tingkat Aliyah[5]. Bahkan di Pare-pare inni pula berkedudukan Universitas Islam DDI yang membawahi fakultas-fakultas berikut :
- fakultas Ushuluddin di Pare-Parre
- Fakultas Tarbiyah di Pare-pare
- Fakultas Syariyah di Mangkoso
- Fakultas Tarbiyah Pangkajene Sidrap
- Fakultas Tarbiyah Polmas
- Fakultas Tarbiyah Pangkep
- Fakultas Tarbiyah Majene
- Fakultas Tarbiyah Maros
- Fakultas Syariyah Pattojo
- Fakultas Tarbiyah Tingkat Doktoral di Pare-pare.
- Fakultas Ushululddin tinngkat Doktoral di Pare-pare.
- STKIP DDI di Polewali dan Majene.
G. Azas Organisai DDI
Sebagaimana
diatur dalam anggaran dasar DDI pada pasal 2 tercantum bahwa organnisai
persatuan ini berazaskan syariat Islam sepanjang pengertian Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, Azas inilah dicanagkan pada awal berdirinya sampai pada Mukhamar
ke 14. Sesuai perkembangan dan tingkat perjuangan organisasi maka dalam
Mukhtamar DDI ke-15 pasal 2 AD-DDI lebih disempurnakan dengan perubahan sebagai
berikut :
1) Persatuan ini berazaskan
Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
2) Persatuan ini
berazaskan Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah ngara yang menjadi azas organisasi DDI, mengandung pengertian bahwa pandangan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat warga Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) adalah Pancasila.Dalam bidang Aqidah ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah sistem nilai yanng dianut Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI). Dalam DDI kelihatnnya istilah Ahlussunnah itu lebih merupakan istilah idiologiyag meringkas gambaran menyeluruh tentang Way of life-nya bukan sekedar istilah dalam ilmu kalam atau teologi tapi menyangkut selluruh aspek kehidupannya.
Dalam
bidang teologi sistem nilai yang dianut dan dikembangkan adalah mengikuti faham
Asyariyah. Dalam bidang fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al Qur’an, Al
Hadits, Al Ijma (konsensus para Ulama) dan Qiyas (analogi) berbeda dengan
golongan-golongan lainnya yang tidak menngakui keutuhan empat sumber
pengambilan hukum itu yang cenderung untuk tidak menggunakan Ijma’ dan Qiyas
dengan menggantinya dengan Ijtihad, walaupun sangnt sulit membedakannya secara
mendasar antara Ijma-Qiyas dengan ijtihad.
Ahlussunnah sebagai suatu ajaran biasanya secara singkat disebut Ahlussunnah atau golongan Sunny, yang merupak golongan terbesar di dunia disamping syiah. Dari sgi historis sosiologi sesunguhnya dapat diaktakan bahwa golongan suny tumbuh secara depesnif tidak bergabung dengan syiah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah khalifah ketiga Usman wafat. Dari segi historis teologis pertumbuhan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mulai muncul secara bersama-sama dalam rangkaian empat aliran hukum yanng terkenal yaitu aliran atau mazhab yakni mzhab Hanafi, Maliki, Syafie, dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad ke dua Hijriyah. Pada masa ini fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Syariah yang pada dulunya dimaksudkan hanya fikhi.
Pertentangan teologi dalam Islam mula-mula timbul sekitar persoalan apakah manusia berkebebasan atau dalam keaadaan terpaksa (tak berdaya) berhadapan dengan takdir Tuhan. Timbul golongan kadariyah yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan. Lahir pula golongan Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia adalah dalam keadaan sepenuhnya hanya tergantung pada ketentuan Tuhan. Kemudian muncul pula golongan Mu’tazilah dengan tokohnya Washil bin atha’ yang berpendapat bahwa manusia tiu bebas atau mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya dan tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Pada saat itu dapat dikatakan bahwa sunnah nabi dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabatnya tidak lagi difungsikan secara wajar ditenagh-tengah masyarakat Islam. Maka terdorong oleh situasi yang demikian, timbullah kesadaran sekelompok ulama/cendekiawan islam sehingga lahirlah apa yang dinamakan golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Kritalisasi doktrim teologis ini berlangsung sekitar abad kesepuluh masehi atau pada abad ketiga Hijriyah. Sebelum masa inni sebenarnya ajaran Islam ahlussunnah itu tetap ada dan dianuut oleh kaum muslimin, tapi belum terkonsenterasikan dalam suatu kelompok atau firqah, karena masih berjalan sebagaimana pada Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggoongan yang demikian sebab memang hanya ajaran satu-satunya itulah yang dianut masayarakat kaum muslimin tidak ada ajaran atau firqah-firqah yang mengelompokkan aum muslimin dalam hal kehidupan aqidahnya.
Ahlussunnah sebagai suatu ajaran biasanya secara singkat disebut Ahlussunnah atau golongan Sunny, yang merupak golongan terbesar di dunia disamping syiah. Dari sgi historis sosiologi sesunguhnya dapat diaktakan bahwa golongan suny tumbuh secara depesnif tidak bergabung dengan syiah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah khalifah ketiga Usman wafat. Dari segi historis teologis pertumbuhan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mulai muncul secara bersama-sama dalam rangkaian empat aliran hukum yanng terkenal yaitu aliran atau mazhab yakni mzhab Hanafi, Maliki, Syafie, dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad ke dua Hijriyah. Pada masa ini fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Syariah yang pada dulunya dimaksudkan hanya fikhi.
Pertentangan teologi dalam Islam mula-mula timbul sekitar persoalan apakah manusia berkebebasan atau dalam keaadaan terpaksa (tak berdaya) berhadapan dengan takdir Tuhan. Timbul golongan kadariyah yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan. Lahir pula golongan Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia adalah dalam keadaan sepenuhnya hanya tergantung pada ketentuan Tuhan. Kemudian muncul pula golongan Mu’tazilah dengan tokohnya Washil bin atha’ yang berpendapat bahwa manusia tiu bebas atau mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya dan tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Pada saat itu dapat dikatakan bahwa sunnah nabi dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabatnya tidak lagi difungsikan secara wajar ditenagh-tengah masyarakat Islam. Maka terdorong oleh situasi yang demikian, timbullah kesadaran sekelompok ulama/cendekiawan islam sehingga lahirlah apa yang dinamakan golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Kritalisasi doktrim teologis ini berlangsung sekitar abad kesepuluh masehi atau pada abad ketiga Hijriyah. Sebelum masa inni sebenarnya ajaran Islam ahlussunnah itu tetap ada dan dianuut oleh kaum muslimin, tapi belum terkonsenterasikan dalam suatu kelompok atau firqah, karena masih berjalan sebagaimana pada Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggoongan yang demikian sebab memang hanya ajaran satu-satunya itulah yang dianut masayarakat kaum muslimin tidak ada ajaran atau firqah-firqah yang mengelompokkan aum muslimin dalam hal kehidupan aqidahnya.
Kebangkitan Ulama/cendekiawan tersebut, terutama diilhami
oleh suatu hadits Rasulullah yang berbunyi : 2)
من احيا سنة من سنتى قد اميتت بعدى فان له
من الأجر مثل من عمل بها من غير ان ينقص من اجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا
يرضاها الله ورسوله كان عليه من الاثم مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من اوزارهم
شيئا
Artinya :
Barang siapa yang menghidupkan satu sunnah-sunnahku yanng
tercecer sesudah matiku, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala
sebagaimana oranng yang mengamalkannya tanpa dikurangi barang sedikitpun. Dan
barangsiapa yang mendatangkan bid’ah yang jelek yang tidak diredhai oleh Allah
Swt dan rasulnnya, adalah baginya dosa sebagaimana dosa-dosa dari pada
orang-orang yang mengerjakannya tidak kurang barang sedikitpun.
Dalam banyak hadits Rasulullah Saw memberikan gambaran akan munculnya firqah/golongan dikalangan umat Islam, tapi yang selamat adalah mereka yang menganut ajaranIslam ahlussunnah Wal Jama’ah.
Diantara Hadits-hadits itu adalah :
افترقت اليهود على احدى او اثنتين و سبعين فرقة
والنصارى كذلك وتفترق امّّتى على ثلاثة وسبعين فرقة كلّّّهم فى النّار الاّ واحد:
قلوا من هى يا رسول الله. ما انا عليه و اصحابى
Artinya :
Berpecah – belah Yahudi menjadi 71 atau 72 golongan. Dan
Nasrani demikian juga. Berpecah-pecah ummatku nanti menjadi 73 golongan.
Semuanya masuk keneraka, kecuali satu. Sahabat-sahabat bertanya ; siapakah
glonngan itu ya Rasulullah? Jawab Nabi, itulah golongan yang tetap menjalani
sebagai yang ku jalankan dan sahabat-sahabatku (yang belum berobah dari apa
yang dijalankan Nabi dan sahabat 3).
Adapun sokoguru berdirinya golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah
adalah sebagaia berikut :
- Ulama Muhaddisin.
Ulama atau cendekiawan dalam bidang hadits ialah yang arif
dan mengetahui segala seluk beluk sanad, mathan, hadits dan dapat memisahkan
mana-mana hadits shahih, hasan, dhaif dan hal-hal yang berhubungan dengan hadts
nabi secara keseluruhan.
- Ulama Fikhi.
Ulama/cendekiawan dalam hukum Islam ialah yang mengetahui
syah atau tidaknya ibadah seseoranng atau masalahnya dengan berdasarkan nash Al
qur’an, sunnah Nabi, Ijma’ serta qiyas dan menguasai alat-alat ishtibath dalam
menetapkan hukum.
- Ulama Usuluddin.
Ulama/cendekiawan yang ahli dalam bidang teologi Islam
adalah mereka yang mengetahui sifat-siafat ketuhanan, baik sifat-sifat wajib,
mustahil maupun jahiz terhadap Allah Swt. Sesuai dedngan dalil-dallil akly yang
bersumbber dari pada akal yang sehat.
- Ulama Tassauf.
Ialah ulama yang berusaha mendekatka diri secara bathiniyah
dari semua hijab yang dapat menghalanginya dalam mengingat Allah Swt. Dengan
mengguanakan cara-cara tertentu.
Diantara pelopor kebangkitan itu adalah Abu Hasan al Asyari
(873 – 935 M) lahir di Basharah tapi dibesarkan di Bagdad. Mula-mula dia
sendiri adalah orang Mu’tazilah dan murid seorang ulama besar mutazilah yaitu
Al Jubbai. Akan tetapi pada usia sekitar 40 tahun ia beralih menjadi penganut
faham orthodoks (Ahlussunnah) yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi
pembanguna sistem teologi sunni dengan berhasilnya merumuskan sistem
kepercayaan yang secara umum dianut muslimin sejak dari zaman Rasulullah
dan sahabatnya.
Faham Asya’ariyah ini pada mulanya dicurigai oleh kaum muslimin sebab faham ini pada dasarnya adalah merupakan suatu modus vivendi antara faham kadariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyabbihah yang mensifatkan Tuhan sama sifat makhluknya dengan faham Mu’taziah yang menentang ada Tuhan mempunyai sifat. Tapi berkat pengaruh Imam Al Gazali seorang penganut faham Asyariyah, maka semakin popelerlah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya seabagi suatu sistem teologi satu-satunya dalam dunia Islam.
Dalam memantapkan pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948. Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976 sampai saat sekarang.
SUMBER I SUMBER II
Faham Asya’ariyah ini pada mulanya dicurigai oleh kaum muslimin sebab faham ini pada dasarnya adalah merupakan suatu modus vivendi antara faham kadariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyabbihah yang mensifatkan Tuhan sama sifat makhluknya dengan faham Mu’taziah yang menentang ada Tuhan mempunyai sifat. Tapi berkat pengaruh Imam Al Gazali seorang penganut faham Asyariyah, maka semakin popelerlah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya seabagi suatu sistem teologi satu-satunya dalam dunia Islam.
Dalam memantapkan pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi DDI dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah serta untuk memudahkan pemberian informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, diterbitkanlah suatu Bulletin yang diberi nama Risalah Ad Dariyah yang mulai terbit pada tahun 1948. Setelah sekian lama mengalami masa vokum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali macet pada tahun 1976 sampai saat sekarang.
SUMBER I SUMBER II
0 komentar:
Post a Comment